
Dalil Al-Qur’an Tentang Kurban dan Tafsirnya
A. QS. As-Shaffat: 102–107
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّيٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ … وَفَدَيْنَـٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Artinya: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.' … Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS. As-Shaffat: 102–107)
Tafsir dan Penjelasan Ulama:
Tafsir Ibnu Katsir: Ayat ini menunjukkan pengorbanan besar yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail. Perintah Allah bukan semata ujian, tapi juga simbol ketundukan kepada wahyu, hingga Allah menggantinya dengan kurban besar.
Tafsir al-Qurthubi: Menunjukkan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Sifat sabar dan tawakal menjadi pelajaran penting.
Tafsir al-Razi: Sembelihan besar yang dimaksud adalah syariat kurban yang berlanjut hingga akhir zaman, sebagai simbol ketaatan.
Peristiwa kurban berawal dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Nabi Ismail a.s., yang diabadikan dalam QS. As-Shaffat: 100–111. Setelah penantian panjang, Allah mengaruniakan seorang anak bernama Ismail kepada Ibrahim. Suatu malam, Ibrahim menerima wahyu lewat mimpi bahwa ia harus menyembelih anaknya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّيٓ أَذْبَحُكَ
"Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu..." (QS. As-Shaffat: 102)
Ibrahim menyampaikan hal tersebut kepada Ismail. Dengan sabar dan penuh tawakal, Ismail pun merelakan dirinya untuk disembelih demi menjalankan perintah Allah. Namun, ketika proses penyembelihan berlangsung, Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan (ذِبْحٍ عَظِيمٍ) sebagai tebusan.
Peristiwa ini menunjukkan ujian besar yang dilalui oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Mereka lulus dari ujian tersebut dan Allah menjadikannya syariat bagi umat Islam berupa penyembelihan hewan kurban setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
B. QS. Al-Kautsar: 2
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (QS. Al-Kautsar: 2)
Tafsir dan Penjelasan Ulama:
Tafsir al-Jalalayn: Ayat ini menunjukkan bahwa shalat dan penyembelihan kurban adalah dua bentuk ibadah utama sebagai tanda syukur kepada Allah.
Tafsir Ibnu Katsir: Menunjukkan perintah langsung untuk melaksanakan shalat Idul Adha dan menyembelih kurban.
Tafsir al-Razi: Ayat ini menjadi landasan perintah kurban sebagai bentuk pengagungan kepada Allah Swt.
Hadits Nabi tentang Kurban
1. HR. Tirmidzi no. 1493
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ...
"Tidak ada amal yang dikerjakan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih hewan kurban..." (HR. Tirmidzi)
2. HR. Ahmad dan Ibnu Majah
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya: "Barang siapa yang memiliki kelapangan rezeki namun tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
3. HR. Ahmad dan Ibnu Majah
Dari hadits shahih, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa ibadah kurban merupakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. dan dianjurkan bagi setiap muslim yang mampu:
سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
"Ini adalah sunnah dari bapak kalian, Ibrahim." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits ini menunjukkan kesinambungan syariat antara Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Kurban bukan hanya sekadar ibadah ritual, tetapi juga pengingat sejarah spiritual dan keteladanan tauhid dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail a.s.
Idul Adha adalah salah satu hari raya besar umat Islam yang diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Hari ini juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merujuk pada peristiwa luar biasa dari Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., yang menggambarkan ketaatan dan ketundukan total kepada perintah Allah Swt. Ibadah utama yang dilakukan pada hari ini adalah menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketakwaan dan pengorbanan.
Penjelasan Ulama:
Imam Ahmad bin Hanbal: Menilai hadits ini sebagai dalil bahwa kurban bagi yang mampu adalah wajib.
Mayoritas ulama (Syafi’i, Maliki, Hanbali): Menyatakan bahwa kurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan).
Imam Nawawi: Hadits ini memberi tekanan bahwa meninggalkan kurban tanpa alasan menunjukkan sikap lalai terhadap syariat.
Hukum Kurban Menurut Mazhab
- Mazhab Hanafi: Wajib bagi muslim yang mampu.
- Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali: Sunnah muakkadah bagi yang mampu, dan makruh meninggalkannya tanpa uzur.
- Imam al-Ghazali: Kurban adalah simbol pengorbanan ruhani dan latihan spiritual untuk menundukkan hawa nafsu.
Hikmah Ibadah Kurban
- Ketundukan kepada Perintah Allah
Seperti dicontohkan oleh Ibrahim dan Ismail, menunjukkan bahwa kepatuhan kepada Allah lebih utama daripada rasa sayang terhadap anak atau harta.
- Tazkiyatun Nafs (Pembersihan Jiwa)
Kurban melatih keikhlasan , mengikis ego dan rasa memiliki terhadap harta.
- Menumbuhkan Jiwa Sosial
Momen ini mengajarkan semangat untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar, serta membangun solidaritas sosial dengan berbagi daging kepada fakir miskin. - Syiar Islam
Penyembelihan kurban menjadi simbol syiar umat Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj: 36:
ذَٰلِكُمْ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
"Demikianlah, dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati."
HUKUM QURBAN DALAM BENTUK KALENG DAN PENYALURANNYA KEPADA NON-MUSLIM
1. Qurban dalam Bentuk Kaleng (Qurban Preservasi atau Daging Olahan)📌 Hukum: Boleh, dengan syarat tertentu.
Beberapa lembaga fatwa dan ormas Islam (seperti Majelis Ulama Indonesia - MUI) memperbolehkan pengolahan daging qurban menjadi bentuk kaleng atau olahan lainnya dengan syarat:
- Penyembelihan dilakukan pada waktu yang ditentukan syariat (10–13 Dzulhijjah),
- Hewan yang disembelih memenuhi syarat sah qurban,
- Proses pengalengan dilakukan setelah hewan disembelih dengan niat qurban,
- Pengalengan tidak menghilangkan tujuan utama qurban, yakni mendekatkan diri kepada Allah dan berbagi kepada yang membutuhkan.
📖 Pendapat Ulama:
Syekh Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa bentuk distribusi daging bisa menyesuaikan kebutuhan dan kemaslahatan umat. Apabila pengalengan lebih efisien, tahan lama, dan menjangkau daerah rawan pangan, maka hal ini masuk dalam kemaslahatan yang dibolehkan oleh syariat.
2. Menyalurkan Daging Qurban kepada Non-Muslim
📌 Hukum: Boleh, dengan skala prioritas.
Ulama berbeda pendapat, namun mayoritas menyatakan boleh memberikan sebagian daging qurban kepada non-Muslim, khususnya jika mereka:
- Fakir/miskin,
- Tetangga,
- Kerabat,
- Atau untuk tujuan dakwah dan menjaga hubungan baik (ta'liful qulub).
✅ Surat Al-Insan ayat 8:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insan: 8)
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa "asīr" (tawanan) bisa termasuk orang kafir, karena saat itu tawanan perang umumnya non-Muslim.
✅ Imam An-Nawawi (dalam Al-Majmu') juga menyatakan bahwa boleh memberikan bagian dari daging qurban kepada non-Muslim dzimmi (non-Muslim yang hidup damai di negara Islam) dengan tujuan kasih sayang atau dakwah.
Namun, tetap harus diprioritaskan kepada:
- Shohibul qurban (yang berqurban),
- Keluarga dan kerabat,
- Fakir miskin Muslim.
🥫 Qurban dalam Bentuk Kaleng 4 mazhab
1. Mazhab Hanafi
- Pendapat: Boleh menyimpan dan mengawetkan daging qurban termasuk dalam bentuk kaleng.
- Dalil: Larangan menyimpan lebih dari 3 hari telah di-nasakh oleh Nabi Muhammad SAW.
- Referensi: Al-Kasani, Bada'i al-Sana'i, Juz 5, hal. 70.
2. Mazhab Maliki
- Pendapat: Boleh mengolah dan menyimpan daging qurban jika tidak mubazir.
- Referensi: Al-Dardir, Al-Sharh al-Kabir, Juz 2, hal. 312.
3. Mazhab Syafi'i
- Pendapat: Boleh mengolah daging qurban selama sebagian telah dibagikan secara mentah.
- Referensi: Al-Nawawi, Al-Majmu', Juz 8, hal. 429.
4. Mazhab Hanbali
- Pendapat: Boleh menyimpan atau mengolah daging qurban, termasuk dalam bentuk kaleng.
- Referensi: Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz 9, hal. 450.
🤝 Pemberian Daging Qurban kepada Non-Muslim
1. Mazhab Hanafi
- Pendapat: Boleh diberikan kepada non-Muslim non-harbi.
- Referensi: Al-Kasani, Bada'i al-Sana'i, Juz 5, hal. 72.
2. Mazhab Maliki
- Pendapat: Makruh, tapi tidak haram.
- Referensi: Al-Dardir, Al-Sharh al-Kabir, Juz 2, hal. 313.
3. Mazhab Syafi'i
- Pendapat: Boleh diberikan qurban sunnah kepada non-Muslim yang damai.
- Referensi: Al-Nawawi, Al-Majmu', Juz 8, hal. 428.
4. Mazhab Hanbali
- Pendapat: Boleh untuk non-Muslim dzimmi dalam qurban sunnah.
- Referensi: Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz 9, hal. 451.
- Daging tidak boleh dijual, termasuk kulit, kepala, dan jeroan.
- Memberi kepada non-Muslim bukan dalam porsi utama, tapi boleh sebagian, setelah prioritas Muslim dipenuhi.
- Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Kemenag RI.
- Imam Tirmidzi. Sunan at-Tirmidzi, Hadis No. 1493.
- Dr. Wahbah az-Zuhaili. Tafsir al-Munir, tafsir QS. As-Shaffat: 102–107.
- Prof. Dr. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur'an. Mizan, 2000.
- Dr. Ali Mustafa Yaqub. Pelajaran dari Idul Adha. Jakarta: LIPIA.
0 comments:
Posting Komentar