Latar Belakang
Di era digital dan media sosial, kita menyaksikan banyak fenomena yang menggambarkan keresahan manusia dalam mencari kebahagiaan. Salah satu yang viral baru-baru ini adalah fenomena “crashing out” — istilah yang populer di kalangan Gen Z untuk menggambarkan ledakan emosi tiba-tiba, breakdown, atau ekspresi distress yang kemudian menjadi viral di media sosial.
Fenomena ini mencerminkan bahwa meskipun banyak orang memiliki koneksi digital, materi, dan hiburan, namun tetap merasa kosong, kesepian, atau tidak bahagia secara sejati. Hal ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memahami dan meraih kebahagiaan yang lebih holistik — bukan hanya duniawi, melainkan juga akhirat.
Dari kajian ilmiah pun, ditemukan bahwa kebahagiaan (subjective well-being) memiliki keterkaitan erat dengan kesehatan fisik dan mental. Penelitian menyebut bahwa orang yang merasa puas dalam hidup cenderung memiliki kesehatan lebih baik.
Dalam konteks Islam, kebahagiaan bukan sekadar pencapaian materi atau kenikmatan indrawi, tetapi mencakup keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara hati dan akal, antara individu dan sosial.
Oleh karena itu, kajian ini hadir untuk memberikan panduan dan pemahaman integral tentang bagaimana meraih kebahagiaan sejati — baik di dunia maupun di akhirat — dilengkapi dengan rujukan al-Qur’an, sunnah, ulama, serta perspektif medis/psikologi dan sosial-budaya.
Landasan Al-Qur’an dan Sunnah
1. Dalil dari Al-Qur’anBeberapa ayat yang relevan:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةًۭ وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةًۭ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(QS. Al-Baqarah 2:201) — “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab api neraka.”
Tafsir ringkas: Ayat ini menunjukkan bahwa doa dan harapan seorang mukmin mencakup dua dimensi — dunia dan akhirat. Kebahagiaan sejati tidak hanya di dunia saja atau hanya di akhirat saja, tetapi keduanya harus diperhatikan.
ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ
(QS. Al-Mu’minūn 23:51) — “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”
Dalam konteks kebahagiaan: iman + amal shalih → dua dimensi: ampunan & rezeki yang mulia — yang dapat dipahami sebagai kesejahteraan dunia dan kedamaian akhirat.
2. Dalil dari SunnahRasulullah ﷺ bersabda:
«عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»
(HR. Muslim) — “Ajaib urusan orang mukmin: semuanya baik dirinya. Jika ia mendapat berkah (senang) maka ia bersyukur — maka itu baik baginya. Jika ia mendapat cobaan (susah) maka ia bersabar — maka itu baik baginya.”
Hadis ini menegaskan bahwa kebahagiaan profesional tidak berarti hanya bebas dari kesulitan, tetapi sikap syukur dan sabar juga adalah bagian dari kebahagiaan sejati.
Kajian ini membahas kebahagiaan dari perspektif Al-Qur’an, Sunnah, tafsir ulama, psikologi modern, kesehatan, dan sosial-budaya.Kebahagiaan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Namun Islam memandang kebahagiaan bukan sekadar perasaan senang, tetapi kondisi hati yang tenang, hidup yang bermakna, dan hubungan baik dengan Allah serta sesama manusia.
Apa itu Kebahagiaan?
Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah gabungan antara ketenangan hati, keberkahan hidup, dan keselamatan akhirat.
﴿ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ﴾“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, dialah orang yang beruntung.” (QS Ali Imran 3:185)
Pendapat Ulama
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai “definisi tertinggi kebahagiaan, karena seluruh kenikmatan dunia akan binasa, sedangkan keselamatan akhirat adalah kemenangan abadi.”
1. Kunci Kebahagiaan Menurut Al-Qur’an
A. Hati Tenang dengan Dzikir﴿ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴾“Dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS Ar-Ra’d 13:28)
Tafsir Ibnu Katsir: Hati manusia tidak akan tenang dengan sesuatu selain mengingat Allah, karena Allah adalah tujuan dan tempat kembali segala sesuatu.
Tafsir ringkas: Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan batin (tahammul/ṭuma’innah) bersumber dari hubungan spiritual dengan Allah; tafsir Al-Qurtubi/Ibn Kathir menjelaskan bahwa dzikir (tidak hanya lisan tetapi juga keyakinan) membawa ketenteraman jiwa.Imam As-Sa'di: Dzikir memberi stabilitas emosional, keteguhan batin, dan perlindungan dari kecemasan.
Pendapat Ilmuwan Modern
- Neuroscientist Andrew Newberg: Aktivitas spiritual seperti dzikir menurunkan aktivitas amygdala (pusat kecemasan).
Aktivitas pada amygdala yang berlebih menyebabkan medial prefrontal cortex (bagian otak yang memiliki fungsi untuk perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengontrol rasionalitas) menjadi kurang aktif sehingga seseorang yang mengalami kurang tidur mengalami penurunan pada kemampuan berpikir rasional. - Psikolog Dr. Robert Emmons: Aktivitas keagamaan berhubungan dengan kebahagiaan jangka panjang.
B. Iman dan Amal Saleh
﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾
Terjemah: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh sedang ia beriman, pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl/16:97).
Tafsir Ath-Thabari: Kehidupan yang baik adalah kelapangan rezeki, ketenangan jiwa, dan keberkahan.
Sayyid Quthb: Hayatan thayyibah adalah “hidup yang berkualitas, meski sederhana; bermakna, meski tidak kaya.”
Tafsir ringkas: Kebaikan hidup (hayah thayyibah) mencakup aspek spiritual, moral, sosial — bukan sekadar kenikmatan materi.C. Sabar dan Syukur
﴿ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ﴾“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambah nikmat kalian.” (QS Ibrahim 14:7)
Al-Qurthubi: Ayat ini adalah hukum yang tidak berubah; syukur pasti menambah nikmat.
Syukur bukan hanya “terima kasih” di bibir, tetapi sikap hati yang diikuti tindakan. Formula ilahiah ini sederhana: syukur → tambahan nikmat. Tambahan bisa berupa kelapangan hati, ide yang jernih, relasi yang membaik, atau rezeki yang tak terduga.
Insight kunci: Syukur adalah aktivator nikmat—ia menyalakan kesadaran, mengarahkan perilaku, dan membuka pintu pertolongan Allah.
2. Kebahagiaan dalam Sunnah Nabi ﷺ
A. Qana’ah« لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ »“Kaya bukan karena banyak harta, tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR Bukhari Muslim)
Imam Nawawi: Kaya hati artinya tidak terikat dengan dunia; inilah puncak kebahagiaan batin.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
B. Sikap Sosial Positif« تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ »“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR Tirmidzi)
Psikologi modern menyebutnya micro-joy: senyum kecil dapat memicu hormon bahagia.
Walaupun senyuman kerap dikaitkan sebagai gestur yang menunjukkan kebahagiaan, namun tak jarang pula senyuman dilakukan untuk menghibur diri saat sedih. Menurut Psikolog Universitas Surabaya, senyuman dibuat-buat pun tak sepenuhnya buruk. Ketika seseorang berpura-pura tersenyum, secara tidak langsung dapat memicu kebahagiaan dalam diri.
“Senyuman kita yang tulus itu juga akan memicu hormon kebahagiaan. Kita sering mengenal hormon kebahagiaan itu hormon endorfin. Itu juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis kita. Kita pun jadi lebih bahagia, lebih senang, dan lebih tenang. Selain itu juga memicu hormon serotonin. Hormon ini akan meningkatkan imun sistem kita. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada kesehatan kita,” ujar Monique Elizabeth Sukamto (CNN Indonesia).
C. Moderasi dalam Ibadah« إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا »“Tubuhmu punya hak atasmu.” (HR Bukhari)
Ibnu Hajar: Islam melarang ekstremisme, karena kesehatan fisik adalah syarat ibadah yang berkualitas.
3. Perspektif Medis dan Psikologi Modern
Studi menunjukkan hubungan antara kebahagiaan dan kesehatan fisik: orang bahagia memiliki risiko penyakit lebih rendah. :contentReference[oaicite:19]{index=19}
Artinya, menjaga kesehatan fisik (tidur cukup, makan sehat, olahraga), dan kesehatan mental (mengelola stres, relasi) merupakan bagian dari kunci kebahagiaan.
Dari penelitian psikologi: kebahagiaan meningkat bila seseorang memiliki hubungan sosial yang kuat, bersyukur, serta memiliki stabilitas emosional.
Sabar dalam menghadapi ujian dan syukur dalam nikmat adalah kondisi yang mudah ditekankan dalam Islam maupun psikologi kesejahteraan.
- Gratitude therapy (Dr. Emmons): syukur menurunkan depresi hingga 25%.
- Mindfulness & dzikir: menenangkan sistem saraf parasimpatis.
- Olahraga: melepaskan endorfin yang meningkatkan mood.
- Tidur cukup: memperbaiki hormon stres (kortisol).
4. Perspektif Sosial dan Budaya
Hubungan sosial yang kuat adalah faktor kebahagiaan tertinggi menurut studi Harvard selama 80 tahun.
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ »“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR Bukhari)
Islam mendorong gotong royong, peduli, dan solidaritas sosial.
Kebahagiaan bukan hanya konsumsi individu tetapi juga dengan kontribusi sosial. Dalam Islam, masyarakat adil dan saling tolong-menolong adalah bagian dari kebahagiaan kolektif.
Pada tingkat budaya, nilai-nilai seperti gotong-royong, kesederhanaan, saling menghormati memperkuat kebahagiaan di komunitas.
Rencana Praktik Kebahagiaan Harian
- Dzikir pagi petang 5 menit.
- Shalat dengan tuma'ninah untuk menenangkan hati.
- Menulis tiga hal yang disyukuri.
- Membantu satu orang setiap hari.
- Olahraga ringan 15–20 menit.
- Mengurangi keluhan; mengganti dengan doa yang baik.
- Memperbaiki hubungan dengan keluarga.
Penutup dan Doa
اللهم ارزقنا قلباً سليماً، ونفساً مطمئنة، وحياةً طيبة في الدنيا وسعادة في الآخرة.
آمِين.

0 comments:
Posting Komentar