Landasan Moderasi dalam Tradisi Berbagai Agama

ARTIKEL



Setiap agama mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang Maha Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini diwujudkan dalam kesiapan mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan. Manusia menjadi hamba hanya bagi Tuhan, tidak menghamba kepada yang lain, dan juga tidak diperhambakan oleh yang lain. Di sinilah esensi nilai keadilan antarmanusia sebagai sesama makhluk Tuhan.

Manusia juga menjadi hamba Tuhan yang diberi mandat untuk memimpin dan mengelola bumi, sebagai makhluk yang diciptakan dengan keunggulan budi pikir. Bumi perlu dikelola agar tercipta kemaslahatan bersama. Inilah salah satu visi kehidupan terpenting dan terkuat yang diajarkan agama.

Karena keterbatasan manusia, maka bangsa dan negara menjadi konteks ruang lingkup tugas ini: bagaimana manusia mengelola bumi di mana ia tinggal, agar tercapai kemaslahatan bersama yaitu bangsa dan negara yang adil, makmur, dan sentosa. Kerangka pikir ini dapat ditemukan di setiap agama dalam bentuk keyakinan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari keimanan. Keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi modal besar bagi kemaslahatan bangsa.

Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil, dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap warga negara dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang menjalankan agama seutuhnya.



Seperti telah dikemukakan, ajaran untuk menjadi moderat bukanlah semata milik satu agama tertentu saja, melainkan ada dalam tradisi berbagai agama dan bahkan dalam peradaban dunia. Adil dan berimbang, yang telah dijelaskan sebelumnya, juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ajaran agama. Tidak ada satu pun ajaran agama yang menganjurkan berbuat aniaya/zalim, atau mengajarkan sikap berlebihan.

Ajaran wasathiyah, seperti telah dijelaskan pengertiannya, adalah salah satu ciri dan esensi ajaran agama. Kata itu memiliki, setidaknya, tiga makna, yakni: pertama bermakna tengah-tengah; kedua bermakna adil; dan ketiga bermakna yang terbaik. Ketiga makna ini tidak berarti berdiri sendiri atau tidak saling berkaitan satu sama lain, karena sikap berada di tengah-tengah itu seringkali mencerminkan sikap adil dan pilihan terbaik.

Contoh yang mudah dicerna dalam kehidupan seharihari adalah kata “wasit”. Ia merupakan profesi seseorang yang menengahi sebuah permainan, yang dituntut untuk selalu berbuat adil dan memutuskan yang terbaik bagi para pihak. Contoh lain, kedermawanan itu baik, karena ia berada di tengah-tengah di antara keborosan dan kekikiran. Keberanian juga baik karena ia berada di tengah-tengah di antara rasa takut dan sikap nekad. Demikian seterusnya.

Dari sejumlah tafsiran, istilah “wasatha” berarti yang dipilih, yang terbaik, bersikap adil, rendah hati, moderat, istiqamah, mengikuti ajaran, tidak ekstrem, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan duniawi atau akhirat, juga tidak ekstrem dalam urusan spiritual atau jasmani, melainkan tetap seimbang di antara keduanya. Secara lebih terperinci, wasathiyah berarti sesuatu yang baik dan berada dalam posisi di antara dua kutub ekstrem. Oleh karena itu, ketika konsep wasathiyah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak akan memiliki sikap ekstrem.

Dalam berbagai kajian, ‘wasathiyat Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly - balanced Islam’, ‘the middle path’ atau ‘the middle way’ Islam, di mana Islam berfungsi memediasi dan sebagai penyeimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah untuk tidak terjebak pada ekstremitas dalam beragama. Selama ini konsep wasathiyat juga dipahami dengan merefleksikan prinsip moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), dan adil (i`tidal). Dengan demikian, istilah ummatan wasathan sering juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’, yaitu masyarakat atau komunitas yang adil.

Kata wasath juga biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjukkan arti khiyar (pilihan atau terpilih). Jika dikatakan, “ia adalah orang yang wasath”, berarti ia adalah orang yang terpilih di antara kaumnya. Jadi, sebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan itu adalah sebuah harapan agar mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat. Ajaran ini begitu sentral dalam dua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan hadits Nabi. Salah satu ayat misalnya mengatakan:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (al-Baqarah, 2: 143).

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa atribut wasathiyah yang dilekatkan kepada komunitas muslim harus ditempatkan dalam konteks hubungan kemasyarakatan dengan komunitas lain. Seseorang, atau sebuah komunitas muslim, baru dapat disebut sebagai saksi (syahidan) manakala ia memiliki komitmen terhadap moderasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, jika kata wasath dipahami dalam konteks



moderasi, ia menuntut umat Islam menjadi saksi dan sekaligus disaksikan, guna menjadi teladan bagi umat lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai panutan yang diteladani sebagai saksi pembenaran dari seluruh aktivitasnya.

Dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang terhadap moderasi sesungguhnya juga menandai sejauh mana komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan. Semakin seseorang moderat dan berimbang, semakin terbuka peluang ia berbuat adil. Sebaliknya, semakin ia tidak moderat dan ekstrem berat sebelah, semakin besar kemungkinan ia berbuat tidak adil.

Hal inilah yang menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad saw. sangat mendorong agar umatnya selalu mengambil jalan tengah, yang diyakini sebagai jalan terbaik. Dalam sebuah hadisnya, Nabi mengatakan:

“Sebaik-baik urusan adalah jalan tengahnya”.

Di Indonesia, diskursus wasathiyah atau moderasi sering dijabarkan melalui tiga pilar, yakni: moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi perbuatan.

Terkait pilar yang pertama, pemikiran keagamaan yang moderat, antara lain, ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks, yaitu pemikiran keagamaan yang tidak semata-mata bertumpu pada teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada teks, tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, sehingga pemikiran keagamaan seorang yang moderat tidak semata tekstual, akan tetapi pada saat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks.

Pilar kedua adalah moderasi dalam bentuk gerakan. Dalam hal ini, gerakan penyebaran agama, yang bertujuan untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemunkaran, harus didasarkan pada ajakan yang dilandasi dengan prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula, bukan sebaliknya, mencegah kemunkaran dengan cara melakukan kemunkaran baru berupa kekerasan.

Pilar ketiga adalah moderasi dalam tradisi dan praktik keagamaan, yakni penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan baru.



Diskursus moderasi tentu saja tidak hanya milik tradisi Islam, melainkan juga agama lain, seperti Kristen. Apalagi dalam konteks Indonesia, karakter keagamaan Kristen juga mengalami ‘penyesuaian’ dengan atmosfer kebangsaan ke-Indonesiaan. Dengan berbagai tantangan dan dinamikanya, tafsir ideologis kekristenan pun kemudian menemukan konteksnya di Indonesia dan mengakar menjadi bagian dari masyarakat multikultural Indonesia.

Umat Kristiani yakin bahwa Pancasila adalah yang terbaik, yang dapat menempatkan umat Kristiani sejajar di mata hukum dengan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, menghindarkan dari diskriminasi, tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Umat Kristiani meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 menjadi pegangan dalam berbangsa dan bernegara yang telah memberikan jaminan bahwa masing-masing pemeluk agama diberikan keleluasaan untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya masing-masing.

Sesungguhnya moderasi beragama menjadi signifikan tidak hanya bagi penciptaan relasi-relasi konstruktif di antara agama-agama secara eksternal, tetapi juga penting secara internal untuk menciptakan harmoni di antara berbagai aliran di dalam satu agama. Konflik internal agama tidak lebih ringan dari konflik eksternal. Karena itu, moderasi beragama secara internal juga penting untuk dikembangkan melalui langkah-langkah strategis dengan melibatkan dan memaksimalkan peran semua pihak.

Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam internal umat beragama.

Dalam Alkitab sebagaimana menjadi keyakinan bagi umat Kristiani telah banyak diceritakan betapa Yesus adalah sang juru damai. Bahkan dalam Alkitab bisa dilihat bahwa tidak satupun ayat yang mengindikasikan bahwa Yesus pernah mengajak orang untuk membuat kerusakan, kekerasan apalagi peperangan. Dalam Alkitab tidak sedikit ayat yang mengajarkan cita-cita untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi ini. Kata kunci yang digunakan dalam Alkitab ketika berbicara tentang konteks kedamaian di antaranya menggunakan kata kebebasan, hak, hukum, kedamaian, memaafkan/mengampuni, kejujuran, keadilan, dan kebenaran.

Moderasi beragama juga dapat dilihat dalam perspektif Gereja Katolik. Gereja menyebut diri “persekutuan iman, harapan dan cinta kasih”. Ketiga keutamaan ini, yang pada dasarnya satu, merupakan sikap dasar orang beriman. Iman yang menggerakkan hidup, memberi dasar kepada harapan dan dinyatakan dalam kasih. Ketiganya bersatu, tetapi tidak seluruhnya sama.



Gereja universal telah merancang perspektif baru dalam membangun relasi dengan agama-agama lain melalui momentum Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menjadi salah satu momen penting kebangkitan semangat beragama inklusif dalam membangun persaudaraan universal dalam abad modern. Dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang menandai sikap Gereja terhadap agama-agama lain di dunia adalah Nostrae Aetate. Dekrit ini secara khusus berbicara tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. Gereja dalam dekrit Nostra Aetate menandaskan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci".

Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Melalui dekrit Nostra Aetate (NA) Gereja telah menggagas babak baru sejarah pengakuan realitas pluralisme religius dan ingin membuka diri terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama nonkristen. Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah bagaimana kita membangun jembatan yang kokoh untuk menghubungkan “perbedaan” antaragama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan adalah melalui dialog antarumat beragama. Melalui dialog ini kiranya dapat bermanfaat bagi pemulihan dan perwujudan hubungan antar agama yang kerapkali dilanda oleh berbagai konflik.

Peta agama-agama di Indonesia menunjukkan adanya perjumpaan antara aneka bentuk keagamaan. Semua hidup bersama dalam harmoni toleransi dan dialog dan semua dalam bentuk bagaimana pun mengalami pengaruh satu dari yang lain. Agama-agama di Indonesia hidup dan berkembang dalam hubungan (kadang-kadang dalam konfrontasi) satu dengan yang lain. Pengaruh itu biasanya tidak langsung, melainkan berjalan melalui bahasa dan kebudayaan yang sama. Dengan demikian, banyak istilah dan rumusan dari agama yang satu juga dipakai dalam agama yang lain, tetapi sering dengan arti yang berbeda. Oleh karena itu, kita perlu mengenal dan mengetahui agama-agama yang lain itu, bukan hanya demi dialog dan hubungan baik antaragama, tetapi juga supaya dengan lebih tepat mengetahui dan menyadari kekhasan dan jati diri agamanya sendiri.

Oleh Konsili Vatikan II, dialog antara Gereja Katolik dan agama-agama lain sangat didorong dan dimajukan. Umat Katolik dinasihati “supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka” (NA.2). Konsili mengharapkan supaya “dialog yang terbuka mengajak semua untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh serta mematuhinya dengan gembira” (GS.92). Oleh karena itu, sesudah Konsili Vatikan II dialog antaragama diadakan di mana-mana.

Dalam sebuah dokumen resmi tahun 1991, dialog dan pewartaan, malah ditegaskan bahwa “Konsili Vatikan II dengan jelas mengakui nilai-nilai positif, tidak hanya dalam hidup religius orang beriman pribadi, yang menganut tradisi keagamaan yang lain, tetapi juga dalam tradisi religius itu sendiri”. Dengan tegas Konsili Vatikan II mengatakan bahwa “di luar Persekutuan Gereja pun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran” (LG.8). Maka dialog tidak hanya berarti hubungan baik antaragama. Dalam dialog semua orang, baik yang Kristiani maupun yang lain, diajak agar memperdalam sikap iman di hadapan Allah. Dalam pertemuan dengan agama lain, justru karena berbeda, orang digugah dari kelesuan rutin supaya menemukan arah yang sesungguhnya dari iman dan kepercayaan.

Dalam Gereja Katolik istilah "moderat" tidak biasa. Yang dipakai adalah "terbuka" terhadap "fundamentalis" dan "tradisionalis" (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik). Hal yang paling penting dalam Gereja Katolik adalah Konsili Vatikan II (1962-65; pertemuan semua – hampir 3.000 – uskup di Vatikan). Konsili itu mengesahkan perjalanan panjang Gereja Katolik ke pengertian diri dan kekristenan yang lebih terbuka, atau yang lebih "moderat".



Adapun dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode itu terdiri dari gabungan empat yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran-ajarannya sebagai bentuk moderasi. Untuk mengatasi kemelut zaman dan menyesuaikan irama ajaran agama dengan watak zaman, moderasi tidak bisa dihindari dan menjadi keharusan sejarah.

Praktik agama yang dilaksanakan umat Hindu Indonesia pada zaman modern seperti sekarang ini adalah Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah. Keduanya menjadi poros utama pembangunan peradaban Hindu Indonesia sejak terbentuknya Parisadha di tahun 1960-an. Praktik kedua teologi ini berkelindan dengan banyak praktik agama Hindu lain. Seni dan ritual menjadi penunjang yang menyemarakkan Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah.

Dalam Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah, Tuhan menjadi objek tertinggi pemujaan. Demikian juga, pemujaan kepada leluhur tetap dipertahankan sejak zaman prasejarah. Dewa-dewa utama dan spirit alam tidak bisa dikesampingkan dalam tradisi pemujaan umat Hindu Indonesia. Sebelum era Parisadha, yang menonjol dalam pemujaan Hindu adalah leluhur, setelah era parisdha, rupanya pencarian kebenaran menemukan kembali Tuhan sebagai objek pemujaan. Tetapi pemujaan kepada leluhur pengamalan ajaran agama di kalangan umat Hindu, terutama dalam mengatasi zaman modern. Pada waktu itu digagas model pembinaan Sa Dharma atau enam Dharma yang meliputi: Dharma Tula, Dharma Sadhana, Dharma Yatra, Dharma Gita, dan Dharma Shanti. Bahkan, Dharma Gita menjadi salah satu model pembinaan umat Hindu Indonesia.

Moderasi beragama di kalangan umat Hindu diarahkan untuk memperkuat kesadaran individu dalam mempraktikkan ajaran agama. Selama ini, umat Hindu lebih banyak melaksanakan ajaran agama secara komunal (kebersamaan). Baik individual maupun komunal keduanya diperlukan dalam praktik keagamaan. Manusia pada zaman modern menghadapi masalah yang kompleks. Agama harus memberi solusi terhadap masalah sosial yang dihadapi manusia. Harus ada penguatan praktik agama secara individual karena manusia mengalami kesepian dan keterasingan sosial di tengah-tengah masyarakat modern. Berjapa dengan mengucapkan nama suci Tuhan merupakan praktik keagamaan yang patut diperluas karena berbanding lurus dengan kebutuhan individu.

Praktik-praktik agama secara individu biasanya mengarusutamakan pelaksanaan ajaran agama yang lebih kontemplatif. Pada zaman Kali, yang identik dengan zaman modern, segala sifat yang tidak baik telah bercokol dalam diri manusia secara individual. Karena itu, pada zaman ini, orang pada umumnya tidak tertarik pada agama, melainkan lebih tertarik pada kekayaan, kekuasaan, dan wanita. Sesuai dengan watak (sifat) zaman Kali, mereka yang introvert (tertutup) akan memilih praktik keagamaan yang kontemplatif. Sedangkan bagi umat yang extrovert (terbuka) sudah disediakan praktik keagamaan yang komunal. Semua jalan ini sama-sama memberi kepuasan batin yang maha luas.

Praktik agama sudah berkali-kali mengalami moderasi sejak zaman Satya Yuga. Parisadha nampaknya belum puas dengan pelaksanaan ajaran agama yang dilaksanakan di akar rumput, atau belum puas dengan pelaksanaan ajaran agama yang terakumulasi sejak pelaksanaan Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah. Dibuatlah program baru: grand design sebagai usaha untuk mempersiapkan umat Hindu menghadapi dinamika sosial masyarakat di masa depan. Di dalamnya terdapat program moderasi.

Tentu saja, moderasi yang digagas dalam grand design lebih kompleks dibanding waktu sebelumnya. Moderasi itu mengikuti kerangka pembangunan peradaban Hindu dengan aspek pembangunan politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Moderasi ini lebih kompleks karena mengaplikasikan pelaksanaan ajaran agama dengan modernitas. Sayang sekali, tidak ada agenda politik Hindu ke depan, sebab moderasi menuntut keterlibatan politik. Seperti Mahatma Ghandi menyebut politik dan agama merupakan satu kesatuan.

Berkaitan dengan moderasi beragama, ajaran agama Hindu yang terpenting adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan. Kasih sayang adalah hal yang utama dalam moderasi di semua agama. Kasih sayang bisa kita wujudkan dalam segala hal/ aspek. Pada intinya, umat Hindu mendukung penuh Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945) yang telah menjadi ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).



Kita juga dapat menjumpai esensi ajaran moderasi beragama dalam tradisi agama Buddha. Pencerahan Sang Buddha berasal dari Sidharta Gautama. Ia adalah seorang guru dan pendiri agama Buddha. Ia merupakan anak seorang raja. Sidharta Gautama mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Tuhan dalam agama Buddha dipanggil dengan sejumlah nama, yaitu Tathagatagarba versi aliran Mahayana, Thian versi aliran Tridarma, Nam-myoho-renge-kyo versi aliran Nichiren, dan Sang Hyang Adi Buddha versi Mahayana aliran Aisvarika nama yang biasa dipanggil para penganut Buddha di Indonesia. Tuhan dalam agama Buddha adalah sebuah kekosongan yang sempurna. Adapun yang memberikan rezeki, mengatur alam, dan tugas lainnya dilakukan para dewa dan Bodhisattava. Para dewa ini adalah manusia biasa yang juga mengalami kesengsaraan tapi mereka memiliki kesaktian, dan berumur panjang meskipun tetap tidak abadi (Tim Penyusun Ensklopedia Mengenal Lebih Dekat Ragam Agama dan Kepercayaan di Indonesia, 2018: 40).

Kemajuan teknologi yang tidak terhentikan ini harus dimaknai sebagai hikmah yang hadir untuk menunjang peningkatan kebahagiaan seluruh umat manusia, seperti cita-cita agama Buddha yang menyatakan, “Isyo Jobutsu dan kosenrufu, yakni kebahagiaan seluruh makhluk dan membahagiakan seluruh makhluk. Maka berbagai kemajuan ini bukanlah suatu tujuan, melainkan hanya alat atau media yang harus dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kebahagiaan umat manusia bahkan alam semesta.

Risalah Buddha juga mengajarkan bahwa spirit agama adalah Metta, sebuah ajaran yang berpegang teguh pada cinta kasih tanpa pilih kasih yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan: toleransi, solidaritas, kesetaraan dan tanpa kekerasan. Kehidupan para Buddhis berjalan di atas nilai kemanusiaan yang dijabarkan pada kasih sayang, toleran dan kesetaraan. Buddhadharma merupakan ‘jalan tengah’ yang merupakan aspek penting dari spiritualitas umat Buddha yang sangat menghindari dari dua kutub ekstrem: penyiksaan diri (attakilamathanuyoga) dan pemanjaan (kamalusukhalikanuyoga). Buddhadharma adalah jalan spiritualitas untuk menuju kesucian yang bermuara pada kebahagiaan sejati dan kebijaksanaan.

Jalan tengah Buddhadharma merupakan sebuah cara untuk melenyapkan dukkha yang bertumpu pada hawa nafsu dan egoisme untuk mencapai tujuan hidup akhir kebahagiaan sejati Nirvana. Konsep ahimsa yang merupakan spirit keagamaan Hindu yang mengajarkan pada—seperti yang terus dijadikan pijakan perjuangan Mahatma Gandhi (1869-1948)—prinsip tanpa menggunakan kekerasan. Pada titik inilah, semua risalah ajaran agama bermuara pada satu titik: jalan tengah atau moderat.

Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu. Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao (Sendana 2018: 129-132). Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu yang berlebihan.

Tengah disini bukanlah sikap tanpa prinsip, tapi sikap tengah adalah ajeg dalam prinsipnya. Prinsip yang berpihak pada cinta kasih – kemanusiaan (ren) dan keadilan – kebenaran (yi) bukan yang lainnya. Dalam keberpihakan pada prinsip tersebut, manusia beriman dan luhur budi senantiasa bertindak susila (li) dan bijaksana (zhi) sehingga menjadi manusia yang dapat dipercaya (xin) dan berani (yong).

Mengzi berkata, “Seorang yang dapat bersikap Tengah, hendaklah membimbing orang yang tidak dapat bersikap tengah. Yang pandai hendaklah membimbing orang yang tidak pandai. Demikianlah orang akan merasa bahagia mempunyai ayah atau kakak yang bijaksana. Kalau yang dapat bersikap tengah menyia-nyiakan yang tidak dapat bersikap tengah, yang pandai menyia-nyiakan yang tidak pandai, maka antara yang bijaksana dan yang tidak bijaksana sesungguhnya tiada bedanya walau satu inci pun.” (Mengzi IVB: 7).



Sikap tengah dalam agama Khonghucu merupakan sikap tengah yang telah diajarkan dan diteladankan oleh para raja suci, nabi purba dan tokoh-tokoh suci lain, yang kemudian disempurnakan oleh Nabi Kongzi. Sikap tengah bukan sikap hanya memegang satu haluan saja, namun perlu kemampuan mempertimbangkan keadaan.

Dialog dan kerja sama terbangun karena orang-orang yang terlibat di dalamnya mau bersikap tengah, tidak ekstrem. Dalam dialog dan kerja sama senantiasa dibutuhkan jalan tengah. Jalan tengah itu bukan berarti selalu terjadi kesepakatan, sepakat untuk tidak sepakat pun adalah jalan tengah. Jalan tengah dibangun dengan sikap tengah. Sikap tengah dibangun karena kemampuan kita untuk terus berusaha menerima perbedaan, mengedepankan kebajika, mengendalikan nafsu, ego, sikap kukuh dan keinginan mengalahkan atau menguasai yang lain.

“Gembira, marah, sedih, senang/suka, sebelum timbul, dinamai Tengah; setelah timbul tetapi masih tetap di dalam batas Tengah, dinamai Harmonis; Tengah itulah pokok besar dunia dan keharmonisan itulah cara menempuh Dao (Jalan Suci) di dunia.” (Zhong Yong Bab Utama: 4).

Sebagai manusia, kita bukanlah sekadar makhluk individu, tapi juga sebagai makhluk sosial. Manusia bukanlah sekadar makhluk biologis, tapi juga makhluk spiritual. Manusia mempunyai batasan waktu untuk berbuat sesuatu karena manusia bukanlah makhluk yang abadi. Dia dibatasi oleh umur. Manusia juga dibatasi oleh tempat dan lingkungannya. Manusia bukanlah sekadar makhluk rasional, tapi juga makhluk emosional. Manusia tak dapat terlepas dari hukum yin yang, karena yin yang adalah hukum Tuhan.

Sebagai manusia kita perlu tahu batas karena manusia mempunyai batas-batas, kesadaran akan keterbatasan yang akan mengantarkan pada kerja sama yang saling membangun. Maka kehendak untuk menguasai manusia yang lain bukanlah satu sikap yang mencerminkan kemanusiaan kita, itu melebihi batas-batas kemanusiaan kita. Selaras dengan hukum Tuhan, sebagai manusia, kita wajib menjaga agar terus berada dalam batas Tengah, karena dengan tetap ada dalam batas Tengah, kita bisa Harmonis. Keharmonisan itulah cara manusia menempuh Dao (Jalan Suci) di dunia. Dengan demikian pada akhirnya kesejahteraan akan meliputi langit dan bumi, segenap makhluk dan benda akan terpelihara.

“Bila dapat terselenggara Tengah dan Harmonis, maka kesejahteraan akan meliputi langit dan bumi, segenap makhluk dan benda akan terpelihara.” (Zhong Yong Bab Utama: 5).

Peperangan, penjajahan, climate change, ekstremisme, bom bunuh diri, perang dagang, keserakahan, keinginan menguasai orang dan bangsa lain, banjir, tertutupnya dialog, menghujat, hate speech, menegasikan dan membenci orang lain, merasa diri benar dan orang lain tidak benar, hoaks, tak tahu kebaikan pada apa yang kita benci dan tak tahu keburukan dari apa yang kita sukai serta banyak lagi adalah dampak kegagalan kita untuk bersikap tengah dan harmonis serta mengambil jalan tengah yang menjauhkan kita dari keadilan sosial (kesejahteraan), keharmonisan dan perdamaian dunia.

Mengetahui pangkal dan ujung, awal dan akhir serta mana hal yang dahulu dan mana hal yang kemudian adalah satu sikap yang menunjukkan telah dekat dengan dao. “Tiap benda mempunyai pangkal dan ujung, tiap perkara mempunyai awal dan akhir. Orang yang mengetahui mana hal yang dahulu dan mana hal yang kemudian, ia sudah dekat dengan dao (Jalan Suci).” (Zhong Yong Bab Utama: 3) Sikap tengah adalah wujud sikap tersebut.



Berusaha mengerti dan memahami keinginan orang lain tentu saja memerlukan pengorbanan yang terkadang tidak kecil, tetapi pengorbanan memang sesuatu yang harus dilakukan demi terjalinnya hubungan yang harmonis. Nabi Kongzi bersabda: “Yang dapat diajak belajar bersama belum tentu dapat diajak bersama menempuh dao (Jalan Suci), yang dapat diajak bersama menempuh jalan suci belum tentu dapat diajak bersama berteguh, dan yang dapat diajak bersama berteguh belum tentu dapat bersesuaian paham.” (Lunyu. IX: 30).

Dalam tradisi Khonghucu, harmoni dapat dihasilkan karena adanya perbedaan-perbedaan. Tetapi untuk bisa harmonis, masing-masing hal yang berbeda itu harus hadir persis dalam proporsinya yang tepat/pas (proporsional). Zhong atau Tengah itu adalah segala sesuatu yang pas/ tepat, baik jumlah, waktu, suhu, jarak, kecepatan dan sebagainya. Zhong juga dapat diartikan sesuatu yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, tidak terlalu lama dan tidak terlalu sebentar (waktu), tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit (jumlah), tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (posisi), tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat (jarak), tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis (bentuk), tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin (suhu) dan seterusnya.

Jadi Zhong diartikan sebagai segala sesuatu yang pas/ tepat atau, segala sesuatu yang berada pada waktu, tempat, dan ukuran yang pas/tepat. Oleh karena itu Zhong sangat terkait dengan faktor waktu, tempat, dan ukuran, atau dalam suatu istilah disebutkan “di tengah waktu yang tepat.” Maka Zhong berfungsi untuk mencapai harmoni, atau Zhong berfungsi mengharmonikan apa yang bertentangan karena perbedaan-perbedaan.

Demikianlah landasan moderasi dalam tradisi agamaagama yang ada di Indonesia. Pada titik ini, Indonesia yang secara kodrati majemuk memiliki akar kultural yang cukup kuat dan juga memiliki modal sosial sebagai landasan moderasi beragama.


ARTIKEL LAINNYA






close

Jika berkenan, silahkan beri ulasan di kolom komentar. Terima Kasih.
Jika Sobat ingin membagikannya ke teman-teman, Silahkan KLIK TOMBOL BERBAGI DI BAWAH INI!

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Telegram
Share on Whatsapp
Tags :

0 comments:

Posting Komentar