Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan

ARTIKEL
Sebagian tulisan tentang moderasi beragama seringkali hanya fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri.

Moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultrakonservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal.

Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, keduanya ibarat gerak sentrifugal dari sumbu tengah menuju salah satu sisi paling ekstrem. Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka yang berhenti di sisi sebaliknya secara ekstrem akan secara rigid memahami teks agama tanpa mempertimbangkan konteks. Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi, dan melakukan kontekstualisasi teks agama di sisi lain.

Pandangan keagamaan sebagian sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya, adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri. Meski tafsir ini juga didasarkan pada teks Alquran tentang milk al-yamin (hamba sahaya/budak), namun penerapannya dalam konteks sekarang dianggap oleh sebagian besar tokoh agama sudah terlalu jauh keluar dari maksud teks alias terlalu ekstrem karena secara kultural tradisi perbudakan sudah dihilangkan.

Sebaliknya, pandangan keagamaan yang hitam putih dalam memahami teks agama juga seringkali terjebak pada sisi ekstrem lain yang merasa benar sendiri. Dalam konteks beragama, pandangan, sikap, dan perilaku ekstrem seperti ini akan mendorong pemeluknya untuk menolak menerima pandangan orang lain, dan bersikukuh dengan tafsir kebenarannya sendiri. Dari sinilah muncul terma “garis keras”, ekstrem atau ekstremisme, yang dikaitkan dengan praktik beragama yang ultra konservatif.

Salah satu ciri awal konservatisme seseorang dalam beragama adalah bahwa ia memiliki pandangan, sikap, dan perilaku fanatik terhadap satu tafsir keagamaan saja, seraya menolak pandangan lain yang berbeda, meski ia mengetahui adanya pandangan tersebut. Lebih dari sekadar menolak, seorang yang ultra konservatif lebih jauh bahkan akan mengecam dan berusaha melenyapkan kehadiran pandangan orang lain yang berbeda tersebut. Baginya, cara pandang hitam putih dalam beragama itu lebih memberikan keyakinan ketimbang menerima keragaman tafsir yang dianggap menimbulkan kegamangan.

Itu mengapa, meski jumlahnya minoritas, seorang ultra konservatif yang ekstrem umumnya lebih ‘nyaring’ dan lebih mampu menarik perhatian publik, ketimbang seorang moderat, yang cenderung diam dan reflektif. Kemenangan kaum ekstremis bukan karena jumlahnya yang besar, melainkan karena kaum moderat mayoritas yang diam (silent majority).



Secara konseptual, pandangan, sikap, dan praktik keagamaan yang ultra konservatif sering muncul dari cara pandang teosentris secara ekstrem dalam beragama, dan mengabaikan dimensi antroposentrismenya. Pandangan teosentris mendoktrin penganutnya untuk memaknai ibadah sebagai upaya “membahagiakan” Tuhan, melalui sejumlah ritual ibadah, dalam pengertiannya yang sempit. Imajinasi “demi membela Tuhan” yang tertanam dalam cara berfikirnya, membuat kelompok ini memaknai ibadah dan agama hanya dalam perspektif “memuaskan hasrat ketuhanan” sembari mengabaikan nilai dan fungsi agama bagi kemanusiaan (Masdar Hilmy, "Antroposentrisme Beragama", Kompas 4/7/2018).

Ada banyak alasan orang berkelompok menyebarkan ideologi ekstrem dan ‘keras’ dalam beragama. Sebagian mereka mengklaim bahwa perbuatannya adalah dalam rangka mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau amar ma’ruf nahyi munkar; mereka juga mengaku sedang meluruskan paham, sikap, dan perilaku umat beragama yang menurutnya sesat; sebagian lagi menjadi bagian dari kelompok ekstrem sebagai perlawanan atas sebuah kepemimpinan negara yang dianggapnya zalim dan menyalahi ajaran agama (thogut), dan sebagian lagi karena merasa terancam oleh ekspansi orang lain (the others), termasuk merasa terancam oleh munculnya gerakan kelompok ekstrem liberal.

Ekstremisme dan kekerasan tentu bukan bagian dari esensi ajaran agama mana pun. Itu mengapa bahwa ideologi ekstrem tidak akan pernah mampu mempengaruhi umat beragama dalam jumlah mayoritas, karena esensi agama sejatinya adalah untuk merawat harkat dan martabat kemanusiaan yang nilai-nilainya niscaya diterima oleh umat kebanyakan. Mereka yang mengampanyekan pandangan dan ideologi ekstrem dalam beragama biasanya berkelompok dalam jumlah kecil, menghindari debat atau diskusi rasional, serta lebih cenderung memilih gerakan dan aksi radikal.

Hal yang membuat kelompok ekstrem radikal tampak lebih ‘besar’ dari sesungguhnya adalah semata karena suara dan pandangan keagamaannya ‘berisik’ di ruang publik, sering mencari perhatian dengan melakukan aksi di luar kebiasaan, yang tujuannya juga untuk meraih simpati. Suatu kali, dengan strateginya itu, kelompok ini mungkin berhasil membuat masyarakat takut dan resah, tapi pada akhirnya tidak pernah berhasil. Dakwah Nabi sendiri dilakukan dengan penuh kasih sayang.

Untuk mencegah itu, konsolidasi kelompok beragama moderat harus ditumbuhkan; egoisme kelompok harus dihindari, demi kepentingan harmoni yang lebih besar, dan agar ekstremisme keagamaan tidak semakin berkembang. Dalam konteks tatanan sosio-politik Indonesia, selama hampir dua dekade, ekstremisme keagamaan menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya di Indonesia melainkan sudah menjadi fenomena global. Aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi di sejumlah negara telah menimbulkan ketegangan bagi semua kalangan yang pada kadar tertentu melahirkan gejala saling mencurigai kelompok agama tertentu sebagai sumber kekerasan.

Fenomena ekstremisme juga menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia. Sejumlah aksi terorisme bahkan telah merenggut ratusan nyawa tak berdosa. Ekstremisme keagamaan yang disertai kekerasan memberikan citra suram bagi pesan keagamaan yang damai bagi semesta. Hal ini juga sangat memprihatinkan jika dilihat dalam bingkai kebangsaan yang secara kodrati majemuk.

Demikianlah, dengan memperhatikan dampak buruk dari ekstremisme, baik ekstrem kiri, maupun ekstrem kanan, maka visi moderasi beragama, yang pengertiannya secara konseptual telah dipaparkan di atas, menjadi sebuah kebutuhan.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, visi moderasi beragama juga niscaya sangat diperlukan, karena, sebagaimana telah dikemukakan, salah satu indikator moderasi beragama adalah adanya komitmen kebangsaan, tidak secara ekstrem memaksakan satu agama menjadi ideologi negara, tapi pada saat yang sama juga tidak mencerabut ruh dan nilai-nilai spiritual agama dari keseluruhan ideologi negara.

Moderasi beragama, yang menekankan praktik beragama jalan tengah, dapat menjadi jalan keluar, baik untuk memperkuat upaya internalisasi nilai-nilai moral spiritual agama, maupun untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang nirkekerasan.

ARTIKEL LAINNYA






close

Jika berkenan, silahkan beri ulasan di kolom komentar. Terima Kasih.
Jika Sobat ingin membagikannya ke teman-teman, Silahkan KLIK TOMBOL BERBAGI DI BAWAH INI!

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Telegram
Share on Whatsapp
Tags :

0 comments:

Posting Komentar