Fenomena Hustle Culture - Tawazun sebagai Solusi


Sobat elpedia, dilansir dari tulisannya Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi. pada laman fpscs.uii.ac.id diinformasikan bahwa di era industri 4.0 ini di kalangan generasi milenial muncul fenomena hustle culture. Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya gila kerja atau workaholic. Orang yang terjebak dalam hustle culture merasa bahwa dirinya harus bekerja keras demi mencapai kesuksesan. Mereka menganggap satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilan hanya dengan bekerja secara terus menerus. Hustle culture juga tampak melalui adanya kebiasaan yang menganggap bahwa bekerja lebih penting diatas segalanya.

Ciri-ciri hustle culture dapat dilihat dari individu maupun dari budaya yang ada di tempat kerja. Menurut beberapa sumber, ciri dari individu yang menganut hustle culture dan terjebak menjadi workaholic memiliki ciri sebagai berikut:
  • selalu memikirkan kerja dan tidak punya waktu santai,
  • merasa bersalah ketika beristirahat dari bekerja,
  • memiliki target yang tidak realistis,
  • sering mengalami burnout atau kelelahan dalam bekerja,
  • serta tidak puas dengan hasil kerja.


Ciri lain dari hustle culture adalah anggapan bahwa bekerja lembur sebagai hal yang normal, begitu juga dengan persepsi bekerja secara rutin di akhir pekan sebagai hal biasa serta merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Padahal, dari tinjauan manajemen kerja, seorang pekerja mestinya memiliki waktu istirahat yang cukup. Pemerintah pun sebetulnya sudah mengatur bahwa jam kerja normal maksimal adalah 40 jam per pekan.

Dampak dari adanya hustle culture ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental dan juga kesehatan fisik. Terjadinya fatigue atau keletihan yang ekstrim adalah dampak yang umum terjadi karena adanya workaholisme dalam bekerja.

Bekerja, tentu saja merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat secara finansial, psikologis dan sosial. Dengan bekerja, seorang individu mampu mengaktualisasikan potensi dirinya, memperoleh pendapatan untuk menikmati kehidupan yang sehat dan layak, serta mendapatkan status sosial yang baik dalam masyarakat. Meski demikian, dari tinjauan kesehatan, bekerja tidak boleh berlebihan karena dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Dalam bidang psikologi juga telah lama disampaikan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan personal. Menurut penelitian, ketika seorang individu terlalu banyak bekerja, produktivitas yang dicapai justru malah lebih rendah dan justru akan merusak bidang kehidupan lainnya. Sebaliknya ketika individu mampu mengelola waktu yang seimbang untuk bekerja dan untuk melakukan kegiatan lainnya maka produktivitasnya akan makin meningkat.

Beberapa manfaat lain dari memiliki keseimbangan kehidupan kerja adalah individu akan lebih sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Seiring dengan baiknya tingkat kesehatan, maka individu juga akan memiliki performa kerja yang baik. Individu yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja juga cenderung memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kehidupan kerjanya maupun terhadap bidang kehidupan lainnya, misalnya kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan sebagainya.

Pentingnya memiliki keseimbangan kehidupan kerja ini juga berlaku bagi seorang muslim. Kewajiban muslim selain bekerja adalah juga beribadah, selain melakukan aktivitas personal lain untuk mendukung kehidupannya. Islam tentunya juga memiliki solusi agar keseharian seorang muslim dapat seimbang.

Prinsip Bekerja dalam Islam



Sebagai agama yang paripurna, Islam juga memiliki pandangan tersendiri mengenai aktivitas bekerja. Dalam Islam, bekerja adalah sebuah kegiatan yang mulia, yang memiliki nilai ibadah dan juga jihad, sebagaimana dalam ayat-ayat berikut ini :

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ١٠

“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum'ah : 10).

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ ١٥

“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15).

وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ۙوَاٰخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰ

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20).



Islam sangat menganjurkan seorang muslim bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Bahkan, karena sifat wajb dari aktivitas kerja, bekerja juga dapat menggugurkan dosa. Beberapa hadist tentang keutamaan bekerja antara lain :

‘Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut.” (HR. Imam Tabrani).

“Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bekerja dan terampil. Siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka ia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).

Islam juga mengajarkan bahwa bekerja tidak boleh serampangan. Ada beberapa etika kerja yang perlu diperhatikan, misalnya pentingnya menjaga kualitas hasil kerja dan mengedepankan profesionalitas. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan.” (HR Thabrani).

Pekerjaan juga dapat dianggap sebagai sebuah amanah. Dalam konteks ini, seorang muslim perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sebuah amanah sampai tuntas. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, sama artinya dengan tidak amanah dan memiliki sikap khianat.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٧

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS Al Anfal : 27)

Tawazun sebagai Solusi

Menurut bahasa tawazun berarti keseimbangan atau seimbang, sedangkan menurut istilah adalah suatu sikap seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu permasalahan. Tawazun adalah suatu sikap yang mampu menyeimbangkan diri seseorang pada saat memilih sesuatu sesuai kebutuhan, tanpa condong atau berat sebelah terhadap suatu hal tersebut. Dengan kita mensyukuri suatu nikmat dari Allah, yakni berupa jasad, maka kita penuhi kebutuhan dasar jasad kita, seperti halnya makan, minum, bekerja dan belajar.

Walaupun seorang muslim harus menampilkan kinerja terbaiknya, bersungguh-sungguh, dan amanah, akan tetapi Islam juga mengajarkan mengenai pentingnya keseimbangan. Seorang muslim boleh saja bekerja keras, akan tetapi waktu bekerja tersebut juga harus seimbang dengan waktu untuk beribadah. Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa bekerja penting untuk mencapai kebahagiaan di dunia, namun demikian seorang muslm juga tidak boleh melupakan upaya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat sebagaimana dalam ayat berikut :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al Qashas : 77).

Lebih luas lagi, tawazun juga berarti memiliki pengaturan waktu yang seimbang dan memperhatikan berbagai aspek dalam kehidupan. Ini karena tawazun tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembagian waktu yang baik, seperti alokasi waktu untuk bekerja, alokasi untuk beribadah, alokasi waktu untuk istirahat, dan sebagainya. Pengelolaan waktu yang baik juga merupakan hal yang didorong dalam Islam, sebagaimana hadist berikut ini:

“Gunakan yang lima sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu,” (HR Al-Hakim).

Lantas, bagaiamana cara mengaplikasikan sikap tawazun? Yang pertama, sebagaimana yang sudah disampaikan diatas, meskipun bekerja itu adalah suatu hal yang penting, tetapi seorang muslim perlu memiliki mindset pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan dan tidak berlebih-lebihan dalam bekerja. Hal ini dapat dibangun dengan cara memahami bahwa terlalu berlebihan dalam bekerja sesungguhnya malah akan membawa kerugian dibandingkan dengan kebermanfaatan. Selain itu, perlu diingat juga, bahwa jika ingin aktivitas kerja mendatangkan keberkahan dan mengharapkan ridha Allah, maka jangan sampai aktivitas kerja tersebut justru menyebabkan kelelahan dan sakit secara fisik dan mental, atau justru mengakibatkan konflik dengan keluarga.



Yang kedua, mengelola waktu. Pengelolaan waktu yang perlu dipikirkan seorang muslim, selain waktu untuk bekerja, untuk keluarga, untuk rekreasional, juga perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk beribadah. Pentingnya memiliki waktu untuk beribadah selain berkaitan dengan kewajiban sebagai muslim, adalah berkaitan dengan prinsip keseimbangan itu sendiri. Seorang muslim tidak mungkin berharap aktivitas kerjanya mendatangkan berkah dan ridha dari Allah jika ia melupakan waktu untuk beribadah. Selain itu, memiliki waktu beribadah akan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Pekerja yang memiliki religiusitas dan kehidupan spiritual yang baik, menurut penelitian akan memiliki kehidupan kerja yang lebih memuaskan. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki sikap kerja yang lebih positif. Mereka biasanya lebih termotivasi dalam bekerja karena bekerja tidak semata-mata demi aktualisasi diri atau mengharapkan gaji, tetapi juga menganggap bekerja adalah bagian dari habluminannas. Orang-orang dengan religiusitas yang tinggi cenderung lebih mudah dalam bekerjasama dan membantu rekan kerjanya, mereka juga berkomitmen dalam penyelesaian tugas-tugas mereka sendiri.

Yang ketiga, konsisten dalam pengelolaan waktu. Jika sudah tiba waktu istirahat, gunakan waktu untuk istirahat. Jika sudah tiba waktu ibadah, gunakan waktu untuk ibadah. Banyak orang yang mungkin tidak menyadari jika waktu ibadah di sela waktu luang jam kerja, justru memiliki banyak manfaat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Simon Webley pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ketika karyawan memiliki kesempatan untuk beribadah di tempat kerja, stres kerja menurun, dan kesejahteraan psikologis mereka meningkat. Karyawan yang dapat menyalurkan kebutuhan spiritualnya juga memiliki sikap kerja yang lebih ramah kepada pelanggan. Menariknya, hal ini tidak hanya berlaku untuk agama Islam saja, tetapi juga agama lain. Sampai-sampai dalam penelitian tersebut disarankan bahwa menyediakan fasilitas untuk beribadah bagi karyawan di tempat kerja adalah bagian dari praktik baik etika kerja.


ARTIKEL LAINNYA


DAFTAR ISI

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Telegram
Share on Whatsapp
Tags :

0 comments:

Posting Komentar